AYAHKU SEORANG PEMBUAL

Semalam aku ikut sebuah online training yang diadakan team star, team tempat ku bernaung menjadi seorang bakul buku HaloBalita. Bahasa kerennya, book advisor. Dalam training semalam kita membahas tentang kapan dan bagaimana kita memulai perjalanan literasi anak. Dan satu hal yang menjadi highlight adalah kita harus memulai perjalanan literasi anak dengan orallity.

Sederhananya membual (baca: mendongeng).

Kemudian narasumber memberikan berbagai contoh beberapa figur yang pandai mendongeng sampai mereka sangat dinanti oleh para 'fansnya'. Guru oleh muridnya, paman oleh ponakannya, juga ayah oleh anaknya.

Ternyata, betapa besar pengaruh mendongeng bagi imajinasi anak dan lebih jauhnya bagi perkembangan literasinya kelak. Bagaimana anak menjadi critical thinker juga problem solver yang ulung dengan bahan bacaan yang sudah dilahapnya.

Tapi kali ini aku tidak akan membahas tentang itu. Gara-gara training itu, memori kepalaku sedang dipenuhi kata ayah dan dongeng sejak semalam. Dua kata yang membawa ku jauh melalui lorong waktu menuju memori masa kecil dulu.

Dulu. Semasa aku kecil, ayahku gemar mendongeng. Tanpa mengurangi rasa hormat, aku akan memakai kata dia daripada beliau untuk ayahku. Sepertinya lebih hangat. Dan aku memang sakau kehangatan dari figur ayah. Dia memang memiliki kemampuan yang baik di bidang menghibur orang. Selera humornya tinggi. Setelah diperhatikan, di keluarganya memang tak ada yang tak pandai membanyol. Jika kami berkumpul, perut bahkan rahang akan terasa sakit dan pegal karena banyak tertawa.

Termasuk mendongeng. Dia pandai membuat anak-anaknya enggan bermain karena ingin tetap mendengarkan apa yang akan terjadi dengan kancil setelah naik ke punggung buaya. Atau bagaimana Ki Sueb, tetangga kami yang sudah tua renta berhasil menggagalkan pencuri yang sudah masuk ke rumahnya hanya dengan ondol (makanan tradisional dari singkong di parut yang didalamnya ada gula merah). Ada pula bualan tentang seorang yang 'mengaji' namun saat dicermati bunyinya terdengar seperti 'go dong ja ti ka saf' dan 'go tuk wa jit di fa ngan e naq' yang dilantunkan dengan tajwid huruf yang tepat. Tentu saja narasi dongengnya itu hanya bualan. Tak heran ibu ku selalu terpingkal-pingkal sementara aku dan kakaku sangat serius menyimak saat ayah sedang mendongeng. Ayahku memang pembual ulung. Saking ulungnya sampai aku dulu bertanya-tanya pada ibu apakah betul kejadian itu nyata.

Yang terpatri sempurna dalam ingatanku adalah saat rumah kami sedang direnovasi. Umurku sepertinya di kisaran angka 7. Malam hari ditengah hujan yang turun dengan lebatnya, kami berkumpul di sebuah kamar. Hanya itu ruangan itu yang bisa ditempati karena sisanya belum tertutup genteng. Di dalamnya ada satu tempat tidur, rak sepatu, lemari kecil, meja dengan tv diatasnya, tikar di samping tempat tidur dengan satu lampu pijar menggantung. Saat kami hendak tidur, kami hanya menutup kamar itu dengan daun pintu yang belum dipasang.

Ada ibuku yang sedang mengandung adikku, kakak, aku dan tentunya ayahku. Hujan yang deras membuat listrik dipadamkan dari pusatnya. Kemudian hanya bermodal senter yang ia sorortkan ke tangan, kami menikmati dongeng yang sangat seru dari ayah. Kelima jarinya bisa berubah-ubah menjadi buaya, rusa, burung, dan lainnya. Sesekali ia meminta bantuan aku dan kakakku untuk memegangi senternya sehingga kedua tangannya bisa bercerita. Di lain waktu, kami kadang menggunakan wayang dari kardus bekas. Sesederhana itu tapi sarat makna.

Dulu, dia adalah seorang ayah yang menyenangkan. Mungkin karena aku belum bisa berpikir hal lain selain dia yang menyenangkan karena pandai mendongeng. Tak heran ia pun menjadi idola di kalangan murid-murid sekolah dasar tempatnya mengajar.

Beberapa waktu lalu saat ayahku membuat akun facebook, permintaan pertemanan membanjiri akunnya. Banyak likes dan komen yang menyuratkan memang mereka adalah murid-muridnya dahulu yang merindukan kocaknya belajar bersama ayahku di kelas.

Tapi kini semua sudah berubah. Ya.. People change. Entah menjadi baik ataupun buruk. Dan aku tidak tahu apa yang menimpa ayahku bahkan kami. Semakin tua terasa semakin sepi. Semakin dingin. Semakin rapuh. Semakin jauh. Bahkan sepertinya yang lebih dinanti adalah kedatangan cucunya dibanding anaknya. Mungkin karena anaknya terlalu banyak protes padahal saat kecil sudah kenyang diperdengarkan dongeng. *anak macam apa aku ini
Tapi bagaimanapun juga, bagaimanapun kondisinya sekarang, ayahku tetap cintaku. Yang memberikan kehidupan. Yang memberikan cinta. Yang memberikan ruang berimajinasi dan berkreasi. Yang memberikan kesan baik paling tidak dari dongeng-dongengnya semasa aku kecil. Yang akan selalu ku sebut dalam doa.

Terimakasih untuk masa kecil yang begitu menyenangkan. Terimakasih sudah memberikan kebahagiaan semasa kecil hingga aku berpikir akupun harus memberikan kebahagiaan yang minimal sama dengan yag aku dapat di masa kecil cucumu. Andaikan masih pantas, sekarang pun aku mau menyimak bualan mu di malam hari menjelang waktu tidurku.

Love,

Anakmu yang rindu kehangatanmu.

Komentar