SAAT MERTUA 'RIBET'


Banyak orang berkata pada para pasangan muda, “nanti kalau sudah menikah, pisah rumah aja. Jangan ikut sama mertua. Kalau di rumah mertua, ribet nanti.” Sederhananya begitulah pesan mereka.
Sebagai pasangan muda, sejujurnya saya hanya manggut-manggut saja dengan apa yang mereka katakan. Keribetan apa yang mereka maksud dan seberapa ‘dahsyat’ tinggal satu atap dengan mertua, khususnya bagi para menantu wanita macam saya. Tapi sampai sekarang saya tidak atau mungkin belum memiliki kesempatan ‘learning by doing’ tentang keribetan itu. Entah kata sambung apa yang bisa saya gunakan; fortunately atau unfortunately untuk kondisi saya ini.

Banyak teman yang berkesempatan tinggal serumah dengan mertua bercerita, betapa campur aduknya perasaan mereka dalam menikmati hari-harinya. Senang melihat anak-anaknya amat disayang, kasih sayang melimpah untuk sang cucu dari mertuanya baik materil maupun non-materil sampai dengan kebaperan yang melanda manakala pola asuh yang berbeda antara diri sendiri dan mertua yang seringkali bersebrangan prinsip.

“itu anaknya laper. Dikasih makan aja nggak usah nunggu 6 bulan. Dulu aja suamimu dari baru lahir udah dikasih nasi sama pisang, nggak kenapa-napa!” padahal kita sedang berusaha ASI eksklusif, dengan pertimbangan ilmu modern yang dirasa lebih baik di zaman sekarang.

“ngasih makan ko ga ada rasanya. Garem nggak, gula nggak. Pantesan aja anaknya nggak doyan.” padahal kita hanya sedang meminimalisir potensi penyakit yang bisa muncul dari pemberian gula dan garam pada balita yang baru memulai mpasi.

“sama anak nggak kasihan. Cuma hp doang nggak dikasih, malah dibiarin nangis kejer.” membuat kita seakan orangtua kejam padahal kita sedang berusaha menyapih gadget dari hari-hari balita yang belum butuh gadget itu.

“dek.. sini ikut sama mbah. Kita beli es krim sama jajan yang banyak.” padahal sebelumnya anak sudah banyak jajan dan saatnya larangan jajan lagi diberlakukan.

Mungkin itulah salah empat keribetan yang dimaksud.

Kemudian muncul lagi cerita yang lain. Cerita yang muncul bukan dari menantu wanita yang tinggal satu atap dengan mertua, tapi juga mengalami ‘keribetan’ dengan mertua. Kita yang mungkin memiliki mertua yang ‘tidak wajar’ kadangkala disulitkan dengan kondisi yang ada. Misalnya, terjadi gesekan yang sebabnya bukan dari diri kita, melainkan salah mertua. Tetapi sang mertua tidak mau disalahkan dan merasa benar. Disitu kita harus bergelut dengan konflik benar dan salah. Meminta maaf, bukan kita yang bersalah. Menyalahkan, tidak akan memperbaiki keadaan. Tapi sebagai menantu, tetap saja, pada akhirnya kita sebagai anak yang harus mengalah demi baiknya hubungan mertua dan menantu, juga para suami yang seringkali jadi serba salah dalam menentukan posisi ‘koalisi’.

Sekali lagi, pada akhirnya, benar ataupun salah, kitalah yang harus berbesar hati meminta maaf. Menyoal dengan mertua, demi baiknya hubungan. Kita yang harus legowo menelan sakit ataupun perasaan yang tidak enak lainnya. Meskipun begitu, la tahzan, jangan bersedih. Selagi kita punya suami yang tahu kondisi dan situasi, terlebih lagi tahu cara membesarkan hati. Tak apa kita sakit sendiri. Selagi ada Allah sang pemberi rezeki. Ya.. rezeki dalam berbagai bentuk insyaallah akan datang untuk kita dari-Nya, karena kita selalu mengingat-Nya. Menyerahkan dan menggantungkan diri pada-Nya. Senang, sedih, bahagia, kecewa, sehat, sakit, semua dari dan akan kembali pada-Nya. Menomorsatukan ingatan kepada-Nya atas segala hal. Ikhlas.

Terdengar klise? Sangat. Tapi mau apalagi? Mau bagaimana lagi? Bukankah sang Creator memang menciptakan berbagai rasa dalam berbagai skenario cerita untuk hamba-Nya? Termasuk kisah pahit manis bersama mertua, seseorang yang amat dicinta oleh orang yang kita cintai, suami.

Wanita memang baper adanya. Dikit-dikit sedih, dikit-dikit tersinggung, diki-dikit mewek. Tapi sudah fitrahnya karena kita wanita lebih mengedepankan persaan dan betul-betul melibatkan perasaan dalam setiap aktivitas. Katakanlah seperti itu.

Baper boleh, tapi mari kita lebih bijak dalam bapering. Hehee. Baper boleh, tapi sebentar saja. Baper boleh, tapi tetap harus beristighfar banyak-banyak. Baper boleh, tapi jangan lupa juga untuk mencerna masalah, melihat dari berbagai sudut, termasuk sudut pandang mertua.

Mereka para mertua sudah lelah. Mereka hanya ingin ketenangan. Mereka tidak ingin mendengar cucunya menangis. Mereka khawatir melihat cucunya kurus. Mereka memiliki uang lebih dan ingin membelikan segala yang bisa mereka beli untuk cucunya, kerena mereka belum mampu melakukan itu pada anaknya dulu. Mereka sudah tidak lagi sedang ‘mendidik’ dengan susah payah selayaknya kita yang muda. Mereka sudah terlalu lelah untuk itu.

Jadi kitalah yang punya maklum. Maklum namun tetap dengan berkomunikasi baik karena itu yang menjadi kunci. Boleh memberi, tapi tidak berlebihan dan di waktu yang tepat. Sepertinya komunikasi yang baik pun bisa meminimalisir ‘keribetan’ yang mungkin terjadi antara kita menantu dan mertua. Sejatinya sungguh tidak ada menantu maupun mertua yang mau menyulut api bahkan membiarkan api itu berkobar.

Tinggal di Pondok Indah Mertua bisa jadi tidak mudah saat semuanya tetap tidak ‘dibuat’ mudah. Dibiarkan tidak mudah. Tapi tidak sedikit pula yang bisa hidup berdampingan dalam satu atap karena salah satu atau bahkan keduanya selalu berusaha melapangkan dadanya, mengesampingkan apa yang perlu dikesampingkan. Saat sudah berusaha lapang dada, mengesampingkan apa yang perlu dikesampingkan namun tetap saja ada goncangan di sana-sini, lagi-lagi hanya satu jawabannya. Ikhlaskan.

Komentar